Motivasi Untuk Menulis
Penulis : Drs. Wilson Nadeak
Kata "motivasi" sering
digunakan orang tanpa mengetahui arti yang sebenarnya. Padahal, kata ini sangat
berkaitan dengan penulisan. Oleh karena itu, coba kita perhatikan apakah arti
kata motivasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut kamus ini,
"Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak
sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; atau usaha-usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak
melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau
mendapat kepuasan dengan perbuatannya."
Pengertian yang diberikan dalam
kamus ini cukup memadai untuk mendukung pembicaraan dalam tulisan ini. Banyak
orang menulis karena dorongan sesuatu yang kurang jelas baginya, yang secara
sadar atau tidak sadar, merekam dorongan hatinya dalam bentuk tulisan. Dorongan
yang kuat dan tidak terbendung itu adalah modal utama bagi seorang penulis yang
ingin berhasil untuk menuangkan buah pikirannya. Tanpa dorongan itu, hasilnya
kurang memuaskan. Tetapi bila dorongan yang kuat itu diwujudkan untuk mengejar
kepuasan batiniah, dilahirkan dalam bentuk yang diinginkan, maka kepuasan yang
tiada taranya akan diperoleh.
Dorongan itu diperoleh mungkin
secara tiba-tiba, mungkin pula secara kebetulan karena terlibat dalam
percakapan atau ketika membaca sebuah buku, atau mendengarkan sebuah kabar yang
menarik. Ada sesuatu yang mendesak-desak dalam dadanya yang hendak dicetuskan,
suatu kobaran yang tidak terbendung. Dan seorang penulis yang sudah
"jadi" akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melahirkan karyanya.
Tidaklah mengherankan apabila ia dapat menuliskan karyanya dalam tempo yang
relatif "singkat". Dadanya serasa sesak dan tangannya bergerak dengan
lincah di atas mesin ketik. Segalanya terasa berjalan dengan mudah dan lancar,
hanya karena adanya suatu motivasi yang kuat di dalam dirinya.
Jika motivasinya bersifat religius,
maka "Injil" yang dianggap ´Kabar Baik´ itu akan mendesaknya untuk
memberitakan-Nya kepada orang lain yang belum pernah mendengar. Ia tidak akan
pernah dapat tidur nyenyak sebelum ia mencurahkan kabar baik itu dari dalam
hati dan pikirannya. Ia akan menuliskan pesan yang mengetuk hatinya, dalam
bentuk artikel. Suatu rasa puas yang luar biasa akan dirasakannya setelah
melihat tulisan atau artikel itu muncul dalam majalah. Di sini ada sesuatu yang
mendorongnya, dorongan untuk menuliskan kabar Injil, sesuatu berita baik yang
mendatangkan kebahagiaan kepada orang lain.
Tetapi ada juga orang yang terdorong
menulis sebuah artikel karena uang. Pengharapan yang diletakkannya di depan
ialah uang, setiap kali ia menyelesaikan bagian demi bagian dari tulisannya, ia
mengharapkan tulisannya segera selesai, karena tidak lama lagi ia akan
mendapatkan uang sebagai imbalannya. Maka pikirannya dipenuhi dengan uang. Pada
umumnya, dorongan seperti ini tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Ia
cenderung menulis dengan cepat hanya sekedar untuk memperoleh imbalan. Berbeda
dengan dorongan "Injil" yang dikatakan di atas, yang membuat orang
meletakkan pengharapan di depan, kepuasan batin karena orang lain akan
memperoleh berita keselamatan. Kita tahu bahwa uang memang penting, tetapi uang
bukan tujuan utama. Uang adalah imbalan yang menyusul kemudian. Yang diutamakan
ialah penyampaian ide dan sesuatu yang amat berharga bagi sesama.
David E. Hensley menyebutkan empat
kata yang penting untuk diingat dan diperhatikan oleh seorang penulis atau
calon penulis. Keempat kata itu adalah sikap, perspektif, disiplin, dan visi.
Keempat kata itu sangat erat kaitannya dengan motivasi dalam penulisan. Berikut
ini saya akan menjabarkan pemikiran yang disampaikannya itu.
1. Sikap
Seorang penulis ataupun pemula harus memiliki keyakinan atas kerja ataupun karya yang digarapnya. Ia harus memiliki suatu sikap tertentu yang jelas dan unik. Ibarat fisik penulis itu sendiri, ia bisa saja memiliki organ yang serupa dengan organ tubuh orang lain, tetapi yang jelas, ia berbeda dari siapa pun. Ia tidak akan pernah sama dengan orang lain. Tuhan telah menciptakan manusia dalam wujud yang unik. Ia tidak sama dengan orang lain, dan orang lain tidak sama dengan dia. Ia merupakan suatu unikum. Setiap individu adalah unik, memiliki ciri kepribadian sendiri; dan karena itu, memiliki sikap hidup yang jelas dan berbeda dari corak yang dimiliki orang lain.
Seorang penulis ataupun pemula harus memiliki keyakinan atas kerja ataupun karya yang digarapnya. Ia harus memiliki suatu sikap tertentu yang jelas dan unik. Ibarat fisik penulis itu sendiri, ia bisa saja memiliki organ yang serupa dengan organ tubuh orang lain, tetapi yang jelas, ia berbeda dari siapa pun. Ia tidak akan pernah sama dengan orang lain. Tuhan telah menciptakan manusia dalam wujud yang unik. Ia tidak sama dengan orang lain, dan orang lain tidak sama dengan dia. Ia merupakan suatu unikum. Setiap individu adalah unik, memiliki ciri kepribadian sendiri; dan karena itu, memiliki sikap hidup yang jelas dan berbeda dari corak yang dimiliki orang lain.
Di dalam berkarya pun ia harus
bersikap demikian. Ia memiliki sikap hidup yang telah terbentuk. Sebagai orang
Kristen, ia memiliki sikap hidup yang tidak dapat ditawar-tawar. Sikap hidup
yang unik inilah yang melahirkan karya yang unik pula, karya yang memiliki
corak yang Kristiani.
Ia dapat melakukan sesuatu yang
mungkin tidak dapat dilakukan orang lain, tentu dengan caranya sendiri. Karena
hal ini telah menjadi bagian dari hidupnya, maka sadar atau tidak sadar,
sikapnya akan tampak dalam karya-karyanya. Keyakinannya memberi warna pada
karyanya, suatu unikum yang tidak dimiliki orang lain. Barangkali, sikap ini
memberi warna yang dominan bagi karya-karyanya, karena apa yang dihayatinya,
itulah yang diungkapkannya. Karya yang unik dan mandiri itu senantiasa
menunjukkan kesegarannya. Ia memiliki nafas yang menghidupi setiap
gerak-geriknya. Orang yang membacanya akan hanyut di dalam sajiannya! Para
editor pada umumnya menginginkan naskah yang demikian.
2. Perspektif
Seorang penulis pemula harus memiliki stamina. Ia harus menjadi pembaca yang baik, yang sanggup merendahkan hati untuk berguru kepada orang lain, lingkungan, dan pengetahuan. Ia memiliki pandangan yang jauh ke depan. Ibarat sebatang pohon, ia tidak tumbuh dalam satu malam saja lantas berbuah. Pohon itu tumbuh dari benih, mengalami proses pertumbuhan alami, melalui deraan hujan dan terik matahari. Mungkin juga tiupan badai akan mengukuhkan akarnya sehingga menukik ke dalam tanah untuk mempertahankan pertumbuhannya. Tahun demi tahun tantangan itu dihadapi, sampai akhirnya dahan- dahannya mengeluarkan buah. Tidak semua buahnya matang dengan sempurna, sebagian mungkin gugur sebelum waktunya, sebagian lagi dimakan burung, serangga, ulat, atau dijolok oleh anak-anak. Yang hanya sisa sebagian saja, itulah yang mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya yang berusaha keras memeliharanya!
Seorang penulis pemula harus memiliki stamina. Ia harus menjadi pembaca yang baik, yang sanggup merendahkan hati untuk berguru kepada orang lain, lingkungan, dan pengetahuan. Ia memiliki pandangan yang jauh ke depan. Ibarat sebatang pohon, ia tidak tumbuh dalam satu malam saja lantas berbuah. Pohon itu tumbuh dari benih, mengalami proses pertumbuhan alami, melalui deraan hujan dan terik matahari. Mungkin juga tiupan badai akan mengukuhkan akarnya sehingga menukik ke dalam tanah untuk mempertahankan pertumbuhannya. Tahun demi tahun tantangan itu dihadapi, sampai akhirnya dahan- dahannya mengeluarkan buah. Tidak semua buahnya matang dengan sempurna, sebagian mungkin gugur sebelum waktunya, sebagian lagi dimakan burung, serangga, ulat, atau dijolok oleh anak-anak. Yang hanya sisa sebagian saja, itulah yang mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya yang berusaha keras memeliharanya!
Penulis pemula tidak memandang
naskah-naskah yang dikembalikan redaksi sebagai suatu penolakan terhadap
dirinya. Redaksi atau editor naskah, editor artikel, dan sebagainya, menolak
sebuah naskah yang terdiri dari beberapa halaman yang ada di atas mejanya. Ia
tidak pernah berpikir untuk menolak penulisnya! Surat ataupun kartu penolakan
adalah sesuatu yang lumrah, apalagi bagi penulis pemula. Ada yang menganggapnya
sebagai tangga untuk meraih sukses.
Abraham Lincoln meraih tangga sukses
melalui kegagalan yang bertubi- tubi. Untuk menjadi senator saja, ia harus
berjuang mati-matian, dikalahkan berulang-ulang, sampai akhirnya ia menjadi
presiden Amerika Serikat!
Kartu penolakan naskah adalah
jenjang pertama menuju sukses! Orang lain mengatakan bahwa kegagalan adalah
langkah praktis menuju sukses. Atau ada pula yang mengatakan bahwa kegagalan
itu bagaikan tonjolan-tonjolan batu di bukit karang terjal, tanpa tonjolan batu
itu, pendaki tidak mungkin dapat mendakinya. Bukankah banyak dari antara
penulis yang menerima hadiah Nobel semula menerima kartu penolakan dan
pengembalian naskah? Seandainya artikel Anda dikembalikan, anggaplah bahwa
editornya memiliki naskah yang cukup di mejanya mengenai bidang itu. Oleh
karena itu, garaplah bidang yang lain yang mungkin belum ditulis orang atau
belum banyak di dalam persediaan editor. Kadang-kadang, ada juga editor yang
sedang kebingungan, lalu ia menolak naskah apa saja yang datang ke mejanya pada
hari ia dongkol itu! Penolakan kecil adalah bagian dari proses perkembangan.
Tetaplah memiliki tekad yang membara. Jangan berharap memperoleh imbalan yang
cepat pada awal karier. Penulis, pada awal karier penulisannya, menulis hampir
sepuluh tahun di pelbagai media massa tanpa memperoleh imbalan satu sen pun.
Setiap kali honorarium diminta, selalu tidak mendapat jawaban dari redaksinya.
Entah mengapa, penulis tidak tahu. Padahal media massa itu bukanlah milik
sebuah perusahaan. Namun, sikap mereka tetap satu: membisu setiap kali
honorarium diminta! Setelah tahun kesebelas, penulis baru mendapat imbalan.
Imbalan itu datang dengan sendirinya, setelah merasa bahwa menulis bukanlah
untuk memperoleh uang. Entah mengapa, situasi itu bagaikan koor saja! Editor
dan staf redaksi adalah manusia juga. Stamina memang diperlukan.
3. Disiplin
Seorang penulis sejak mengangkat penanya, berkenalan dengan teknik dan disiplin. Ia memegang pena, atau menekan tuts mesin ketik. Semua alat itu sudah didisiplinkan dan dimekaniskan. Pelakunya harus mengenal disiplin yang berkaitan dengan benda itu. Apalagi penulis sudah menuliskan kalimat. Maka ia pun berkenalan dengan disiplin lain, konvensi dan lambang-lambang huruf. Ia mulai "mempermainkan" huruf dalam batas-batas pengertian. Ia memberi makna kepada huruf. Ia harus mengetahui aturan, struktur kalimat, dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan itu. Apa yang terkandung dalam benaknya diungkapkan melalui alat yang memiliki disiplin itu!
Seorang penulis sejak mengangkat penanya, berkenalan dengan teknik dan disiplin. Ia memegang pena, atau menekan tuts mesin ketik. Semua alat itu sudah didisiplinkan dan dimekaniskan. Pelakunya harus mengenal disiplin yang berkaitan dengan benda itu. Apalagi penulis sudah menuliskan kalimat. Maka ia pun berkenalan dengan disiplin lain, konvensi dan lambang-lambang huruf. Ia mulai "mempermainkan" huruf dalam batas-batas pengertian. Ia memberi makna kepada huruf. Ia harus mengetahui aturan, struktur kalimat, dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan itu. Apa yang terkandung dalam benaknya diungkapkan melalui alat yang memiliki disiplin itu!
Penulis yang baik, sejak awal
menggoreskan penanya sudah harus menyiapkan diri dengan disiplin penulisan. Ia
harus menjadi pembaca yang setia dan mengenal tanda-tanda baca. Orang yang
menghadiri pertemuan-pertemuan, seminar-seminar penulisan, dan penataran-
penataran, jika tidak mempraktikkannya tidak akan memperoleh manfaat
daripadanya. Orang yang menghadiri pertemuan seperti itu cenderung menganggap
dirinya penulis atau pengarang, namun tidak pernah menulis. Hal yang demikian
adalah lamunan kosong belaka.
Orang yang tidak mengenal disiplin
tidak akan memperoleh imbalan sama sekali! Langkah-langkah yang ditempuhnya
tidak akan beraturan dan hasilnya pun tidak akan memuaskan.
4. Visi
Seorang penulis Kristen harus memiliki visi, yaitu suatu kemampuan untuk memandang jauh ke depan dengan mengetahui apa yang sudah terjadi. Ini menyangkut daya nalar dan daya khayal. Raja Salomo pernah berkata, "Jika tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat" (Amsal 29:18).
Seorang penulis Kristen harus memiliki visi, yaitu suatu kemampuan untuk memandang jauh ke depan dengan mengetahui apa yang sudah terjadi. Ini menyangkut daya nalar dan daya khayal. Raja Salomo pernah berkata, "Jika tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat" (Amsal 29:18).
Menulis bagi seorang Kristen berarti
memiliki misi tertentu yang membentuk visinya. Bobot tulisannya diresapi oleh
tujuan misi tersebut. Berangkat dari situlah, ia mengembangkan kemampuannya
untuk mencapai target yang paling luhur: menyampaikan berita keselamatan.
Orang yang memiliki visi akan
mempunyai pengharapan. Orang yang memiliki pengharapan akan memiliki tujuan,
dan orang yang memiliki tujuan yang luhur akan memandang jauh ke depan kepada
sebuah cita- cita yang tinggi, memuliakan Tuhan dan meluhurkan jiwa manusia di
dunia yang fana ini.
Karena ada visi, maka manusia
memiliki kreativitas. Manusia yang kreatif akan senantiasa mencari kebaruan
yang membahagiakan manusia.